Pernah suatu ketika aku bermimpi menjadi diriku yang di usia tua. Aku duduk di sebuah kursi dengan jemari keriput yang sedang memegangi mainan cucuku. Entah darimana, tiba-tiba saja muncul sebuah cermin yang memantulkan sosokku dengan rambut putih perak memakai gaun berwarna krem sedang tertawa. Tidak ada yang aneh awalnya. Tapi saat kuperhatikan baik-baik, aku baru sadar kalau gigiku tidak ada alias sudah ompong semua. Aku kaget dan terbangun. Memikirkan apa yang terjadi dalam mimpi membuatku termenung. Bayangan driku yang lanjut usia membuatku merasa aneh dan kesepian. Aku keriput dengan banyak flek hitam di wajahku. Ini membuatku teringat dengan berbagai perawatan untuk mencegah penuaan dari pusat-pusat kecantikan. Geli rasanya kalau dipikir-pikir. Setiap manusia pasti berubah, entah itu dikehendaki atau tidak. Mau berusaha sekuat apapun manusia itu sudah kodratnya menjadi tua dan mati. Namun setelah kuingat-ingat, ada satu hal yang tidak berubah dalam mimpi menjadi nenek yang kualami. Gaun berwarna krem. Ya, aku mengenali gaun yang dipakai olehku yang versi nenek. Itu adalah gaun tua penuh kenangan berusia 30 tahun yang ada di lemari ibuku.
Lemari ibu adalah kotak harta karun bagiku ketika masih kecil. Sering aku mencoba berbagai macam baju ibu yang ada dalam lemari dan berdandan ala tuan putri. Ibu juga tidak keberatan dengan hobiku. Sampai suatu ketika, aku menemukan selembar gaun tua di bagian yang sedikit tersebunyi di dalam lemari. Gaun berwarna krem dengan motif istana serta kerah pita yang menarik hati membuatku sangat berdebar-debar. Melihat gaun cantik dengan rok berkibar-kibar impian setiap anak perempuan (kecuali yang tomboy) memicu suatu dorongan di otakku untuk memakai dan memperlihatkannya kepada orang lain. Aku yang dikuasai oleh dorongan jiwa akhirnya memakai gaun itu ke luar dan pamer ke teman-teman tanpa izin dari ibu. Dengan ujung dari gaun yang masih kebesaran menjuntai menyapu tanah, aku pun berputar-putar ala tuan putri. Teman-temanku pun berdecak kagum melihatku. Namun sayang ini tidak bertahan lama. Ibu yang kala itu baru saja pulang dari rumah tetangga melihatku bermain di atas bak pasir memakai gaunnya. Ujung gaun kotor dan ibu marah besar. Aku dijewer di depan teman-teman dan disuruh pulang oleh ibuku. Kalau mengingat kejadian itu, aku selalu merasa geli dan tertawa. Aku yang masih kecil, nakal, dan belum mengerti nilai gaun itu, seenaknya saja memakainya sembarangan sehingga dimarahi habis-habisan oleh ibu.
Gaun itu adalah hadiah dari keluarga ayahku ketika ibu menikah sehingga ibu menjaganya sepenuh hati. Maklum saja, ini karena ibuku yang kala itu baru berusia 15 tahun berasal dari keluarga yang kurang mampu sehingga gaun tersebut adalah barang mewah bagi ibu. Ibu pernah bercerita bahwa ia mengenakan gaun tersebut saat bulan madu dan saat diajak merantau oleh ayahku ke pulau Kalimantan. Hingga saat ini, ketika kami sudah hidup berkecukupan, gaun beserta semua kenangan yang terkandung di dalamnya masih terjaga dengan baik sebaik ibu merawat anak-anaknya. Ibu pernah bilang padaku, suatu saat ketika telah dewasa aku boleh memiliki gaun itu. Sama seperti ibuku, aku akan menjaganya baik-baik dan melanjutkan kenangan gaun itu hingga anak cucuku. Dan siapa yang tahu? mungkin aku akan masih memakainya hingga aku menjadi nenek tua keriput dan berambut putih. Persis dengan yang pernah terjadi dalam mimpiku. Atau.. Yah, siapa tahu.